Warna langit yang hampir merah lagi-lagi
membuatku tertegun. Kilaunya menyeretku pada kejadian lima tahun lalu, ketika
saat itu pendar yang sama menghiasi atap bumi Surabaya. Persis sama, seperti dejavu
saja. Guratan-guratan warna yang lebih muda mengaduk putihnya awan, pink
jadinya. Kusapu tuntas langit sore itu dengan tatapan di balik kacamata. Aku
harus sedikit-sedikit memutar leher untuk menyelesaikan pengelanaan mataku. Ya,
karena frame kacamataku membatasi luasnya penglihatan. Area yang jelas kulihat
hanya seluas frame berukuran 3 x 2 senti. Selebihnya? Seperti sebuah gambar
yang ditumpahi efek blur. Buram dan abstrak. Jika kau bermata minus, kau akan
mengerti.
Kepalaku hampir mematuk sisi jendela
ketika jemari Jenggala mampir di pundak kananku. “Kau melangit lagi?”’ Senyumnya tersungging lama, kemudian tinggal
begitu saja di wajahnya yang teduh. Matanya sayu, menatapku lekat-lekat
menelusup sampai ke hati. Dia berusaha sedekat mungkin menempel padaku.
Merengkuh pundakku. Dan membiarkan kepalaku jatuh di dada bidangnya, seperti
sengaja menggelar tempat tidur empuk untuk permaisurinya melepas cerita.
Menyediakan tempat terhangat dalam rengkuhan cintanya. Padahal Jenggala tahu betul, hatiku selalu
dekat dengan hatinya.
“Langit
yang merona.” Jenggala seolah mengerti bahkan sebelum sempat kujabarkan apa
yang berputar di kepalaku tentang langit sore ini. Dia kemudian mengekor tatapanku yang kembali
jatuh pada si langit merah, meresapi langsung ke sumber renunganku.
Mencari-cari gerangan apa yang membuatku melangit
sore ini. Dia selalu ingin tahu semua yang tersembunyi dalam benakku tanpa
memintaku menjelaskan padanya. Cukup menatapku saja, tak jarang Jenggala
berhasil membaca isi hatiku. Begitu keras usahanya memahamiku luar dalam.
Jenggala selalu berusaha menaungiku seperti seorang ibu yang menyayangi
puterinya, seperti guru yang membimbing muridnya, seperti sahabat yang berbagi
sisi bahagianya, dan lebih dari itu, Jenggala adalah suami yang terlalu
sempurna di mataku.
Lima tahun lalu di Surabaya kami
bertemu. Tepat di bawah langit merona Jenggala mengenalkan dirinya padaku.
Tidak ada yang berubah sikapnya saat dia membaca tulisan di secarik kertas yang kuberikan padanya saat itu. Dia jatuh
cinta padaku saat pertama melihatku, akunya. Dan aku percaya. Cukup percaya
sebab ia telah membuktikan perkataannya dengan segera menikahiku. Sikapnya yang
menyempurnakan diriku dimatanya, sungguh kuanggap sebagai ungkapan cinta
terdalam. ‘Cukup aku dan Tuhan yang tahu
sempurnanya dirimu.’ Adalah ungkapan megadahsyat yang menghanguskan
ketidakpercayaan diriku saat itu. Jenggala, dialah laki-laki yang melengkapiku.
“Ia
terlalu kompleks di matamu, langit itu. Apa yang sedang kau pikirkan
tentangnya, Ranting? Aku kesulitan
menebak.” Jenggala beralih menatap wajahku. “Hei, tidak keberatan untuk memberiku clue?”’ kata Jenggala
kemudian. Dia tidak menyerah, Jenggala hanya butuh keywords. Kusadari, dia
bukanlah malaikat yang serba tahu semua yang tersimpan di kepalaku, meski
Jenggala tak pernah lelah mencari arti di setiap senyum penyamar diamku.
Kutegakkan kepalaku yang sudah terlanjur
nyaman bermanja di dadanya. Kutarik senyum terindah yang bermakna ‘tak masalah’
kepadanya. Kuacungkan empat jari tangan kananku secara bersamaan, membentuk
angka Empat. Kemudian kukepalkan tanganku dan kuputar sekali kearah kanan, yang
berarti: Tahun. Yang terakhir kutunjuk punggungku: Lalu. Empat Tahun Lalu. Ini
semacam permainan tebak kata yang mungkin kau pernah memainkannya bersama
teman-temanmu sewaktu bocah dulu. Tapi aku dan Jenggala kerap memainkannya
sejak kami menikah.
“Kau
sedang mengingat pertemuan kita yang pertama?” Tebaknya antusias. Aku mendapati lagi senyum
menghiasi wajah teduhnya, namun kali ini dia mendekatkan wajahku ke wajahnya.
Keningku dikecupnya. Aku tidak perlu mengangguk untuk memberitahunya bahwa
jawabannya amat tepat. Dia tahu benar, diam berarti iya. Dan kecupannya adalah
hadiah istimewa sore ini. Dalam imajiku, cintanya memancar kemana-mana. Aura di
sekitar kami berubah menjadi merah muda, bahkan melebihi ranumnya warna pink
awan di sana. Aku mengerti, bahagia itu: ini.
Akan kuceritakan kisah Empat Tahun Lalu
itu, ketika bersama kesungguhannya Jenggala mengungkapkan isi hatinya pada
pertemuan pertama kami, tepat setelah dengan sadar membaca dua kata di secarik
kertas yang kuberikan padanya. Nekat betul dia. Seperti tersihir mantera
bernama Cinta Pada Pandangan Pertama saja. Dia tidak banyak berkata, yang
dilakukannya adalah duduk bersimpuh di depanku, lagaknya seperti pujangga.
Dengan masih menggenggam kertas pemberianku hasil sobekkan buku catatan yang
kerap kubawa saat melangit, Jenggala
kemudian berkata:
‘Aku
baru saja jatuh cinta padamu.’
Lengkap dengan tatapan teduhnya yang
menelusup sampai ke hati. Saat itu, dia bahkan belum tahu namaku.
Dia gila, pikirku. Bagaimana mungkin dia
mengatakannya setelah membaca tulisanku di secarik kertas yang kusobek tak
sempurna itu. Sedetik kupikir dia mempermainkanku, sebelum Jenggala tersenyum
tulus dan mengangguk sekali, tanda pasti. Segera kulirik kertas di
genggamannya. Untuk meyakinkan bahwa aku tidak salah menulis kata. Atau dia tidak
terbalik membacanya. Dan kudapati dua kata itu tertulis sempurna. Tanpa kesalahan.
Dan Jenggala tidak keliru membacanya. Sedetik kemudian degub jantungku mulai
kacau. Ntahlah, aku merasakan kekhawatiran, namun ketulusan pada sorot mata
Jenggala menentramkan hatiku. Itu harapan. Harapan untuk mencari bahagia
bersama-sama. Harapan untuk mengejar masa depan dengan cinta. Yang kini, aku
telah mendapati harapan itu menjadi hal yang nyata.
Pada secarik kertas yang kuberikan
padanya:
‘Aku Bisu’.
~bersambung~