Di dalam sebuah ruangan dengan dinding
bercat biru, berlantai keramik putih mengkilat, karpet lembut digelar memenuhi
hampir setengah luas ruangan. Perabotan mewah menempati posisinya dengan
teratur. Bagai suasana yang berulang, pandangan ke sekitar terlihat kabur,
tidak nyata. Mungkin memang tidak nyata, Titik-titik putih mirip cahaya
melayang di udara, sunyi yang mendamaikan. Tak ada aktivitas, tak ada gerakan
apapun, kecuali usapan lembut tanggan seorang perempuan paruh baya berwajah
sabar, mengusap kepala anak perempuan berusia 9 tahun yang matanya terpejam.
Tubuhnya merebah di atas karpet lembut itu, terlelap begitu saja di antara
tumpukan kertas dan alat tulis yang berserakan. Tangannya menggenggam kertas
dengan coretan empat bait puisi yang baru selesai ditulisnya dengan hati-hati.
Usapan tangan itu terjadi lagi,
dua-tiga kali, dan sepasang mata yang terpejam mulai berkedut, membuka perlahan
lalu mengerjap. Mencari sumber usapan lembut di kepalanya.
.
.
“Bunda?”
Wajah sabar itu tersenyum.
Kriiiiiiing Kriiiing!
Yasmin terhenyak, menarik nafas
panjang untuk memperbaiki detak jantungnya yang menjadi cepat. Suara telepon
itu mengagetkan sekaligus membangunkan ia dari tidur siangnya. Tidur siang yang
mungkin ke-3000 kalinya sejak tidur siang di ruangan dengan dinding bercat
biru, berlantai keramik putih mengkilat, di atas karpet lembut yang digelar
memenuhi hampir setengah luas ruangan itu.... Ah, belakangan Yas
sering mengalami mimpi ini berkali-kali. Mimpi yang sebenarnya bagian dari
kenangan masa kecilnya.
Yasmin mengembalikan
kesadarannya dengan melihat sekeliling. Tentu saja itu kamar tidurnya, karena dindingnya
bercat putih, bukan biru. Dia mendapati tubuhnya terbaring di atas kasur, bukan
karpet. Dan yang membangunkannya bukanlah usapan di kepala, tapi dering telepon
yang melengking-lengking. Tentu saja yang tadi adalah kenangan, dan yang ini
kenyataan. Yang tadi adalah ia ketika usianya 9 tahun, sedang yang ini adalah
ia 10 tahun kemudian. Dan tentu saja, yang tadi adalah ingatannya ketika Bunda masih
hidup, dan kini Bunda telah...
Yas masih dengan posisi
berbaring, menyapu seprai dengan kakinya kesana-kemari, merayap benda persegi
panjang berlayar yang sedari tadi berdering. Dapat. Kemudian menggesernya
hingga jangkauan tangan.
Panggilan Masuk : Kak Tian
Matanya membulat, lalu menyipit beberapa
saat memastikan nama yang tertera di layar ponselnya adalah benar. Yasmin belum
ingin menjawab telepon itu karena benaknya justru berkutat dengan pertanyaan : Kenapa harus Kak Tian yang merusak ritual
tidur suci-ku di siang yang mendung ini? Dan.... Kak Tian? Siapa itu Kak Tian?
Klik!
“Halo?”
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”
“Yasmin?”
“Iya?”
Yas
menggigit bibir, mengutuk detak jantungnya yang kembali ngaco. Kak Tian siapa sih?
“Yas, jadi ikutan WE siang ini?”
Sedetik... dua detik... Ketepok!
Allah! Yasmin melonjak duduk, menepuk
keras keningnya. Seolah memberi hukuman pada isi kepalanya yang pelupa.
“Jadi,
Kak!” Gelagapan.
“Udah
dimana?”
“Ng....
Kakak dimana? Eh, maksudku, udah pada mau berangkat?”
“15
menit lagi.”
“Aku
susulin langsung ke Langit Garden aja, dah. Gak apa-apa, kan?”
“Oh,
boleh. Telpon aja kalo udah nyampe.”
“Siap.”
“dresscode
hitam, ya.”
Dresscode
hitam? Pandangan Yas melesat pada tumpukan baju yang belum
disetrika. Detak jantungnya kembali cepat, wajahnya tegang, matanya memburu
sesuatu tapi dia tidak berharap melihat apapun yang berwarna hitam di sana. Tapi
sungguh sayang, menyembul bagian baju berdasar hitam. Yasmin meringis kesal. blus
hitamnya belum disetrika!
Pukul 13.15 wib, di dalam sebuah
kamar, di sebuah rumah yang terlihat sungguh sepi, Yasmin gelagapan bersiap seorang
diri. Dia akan datang terlambat!
***
“Sendirian?” Yas menoleh, di sampingnya berdiri seorang lelaki
berwajah ramah yang baru kedua kali ini ditemuinya. Iya, sebelumnya mereka
pernah bertemu di acara yang sama dua minggu lalu. Pertemuan yang bagi Yasmin
tak ada yang spesial kecuali pada bagian mereka saling tukar nomor handphone.
“Sendirian?”
Tian
mengulangi pertanyaannya. Tak pelak lamunan Yas buyar. Mengangguk gelagapan.
“Baru
tadi siang aku pulang dari luar kota, Kak.” Terdengar seperti sedang
membela diri, sebuah alasan, padahal Tian tidak bertanya perihal
keterlambatannya.
“Nggak
masalah. Lagian cuacanya nggak stabil. Kirain karena di tempatmu hujan.”
“iya,
sih. Hujan juga.” Jawab Yas cepat. Makanya begitu sampai rumah aku sholat trus tidur, dan lupa kalau ada
janji. hehe Lanjut Yas dalam hati. Yas nyengir malu, lebih kepada dirinya
sendiri.
Acara telah berlangsung setengah
jalan, Yasmin tidak mengikuti sesi edukasi yang dilakukan di awal. WE : Weekend
Edukasi adalah kegiatan perpekan sekumpulan anak muda kota setempat yang lebih
suka menghabiskan setengah hari minggunya untuk mendampingi anak-anak panti
asuhan ketimbang melakukan kegiatan lain. Di sana mereka memberi edukasi
tentang banyak hal, mengajak anak-anak itu jalan-jalan, mengaji, belajar, dan
bermain bersama. Di akhir acara, puluhan anak yang berasal dari beberapa panti
itu selalu mendapat oleh-oleh untuk dibawa pulang, berupa alat tulis, alat
mandi, makanan, atau lainnya. Kali ini, acara WE diadakan di sebuah taman
wisata: Langit Garden. Disana suasananya sungguh hijau, asri dan terbuka. Cocok
menjadi tempat rutin acara semacam ini dilakukan. Setiap pekan, puluhan anak
dari beberapa Panti Asuhan di kota setempat diundang bergantian. Biasanya untuk
tiga sampai lima anak panti, dibutuhkan seorang kakak pendamping untuk
mendampingi mereka selama acara berlangsung. Maka setiap acara, hampir pasti
terdapat minimal dua puluh kakak pendamping, dan Yasmin menjadi salah satunya.
Yasmin mengenal komunitas ini baru dua minggu yang lalu, Tian yang
mengenalkannya secara tidak sengaja. Tian sendiri adalah salah satu Founder di sana.
Selalu ada sesi permainan di
setiap acara ini berlangsung. Kali ini permainan dipimpin langsung oleh Tian
dan beberapa kakak pendamping. Mereka menamai permainan ini dengan : Kalimat
Kunci.
Aturannya mudah, setiap kakak
pendamping memilih empat orang adik dari panti yang berbeda untuk membentuk
sebuah tim. Setiap tim memiliki lima orang anggota, dan masing-masing harus
menghafalkan kalimat kunci yang diberikan pemandu permainan (dalam hal ini
adalah Kak Tian dan beberapa kakak pendamping) kepada salah satu anggota setiap
tim di awal permainan. Kalimat kunci untuk seluruh tim sama, menggunakan
kata-kata mirip, njlimet dan
terdengar aneh sebagai tantangan. Setelah dihapalkan anggota pertama, kalimat kunci dioper ke anggota kedua, ketiga,
dan seterusnya secara berurutan. Kalimat ini berfungsi untuk membuka ‘pintu
tanya’ yang dijaga oleh kakak pemandu. Ada 5 pintu tanya, masing-masing anggota
mempunyai satu pintu untuk dibuka secara berurutan. Kalimat kunci hanya boleh
dioper ke anggota selanjutnya setelah satu per satu pintu tanya telah
ditaklukan. Pintu tanya terakhir adalah yang tersulit. Setiap kakak pendamping
diwajibkan menjadi anggota terakhir yang bermain untuk membuka pintu tanya
tersulit tersebut. Tim yang paling cepat menyelesaikan permainan lah yang akan
menang.
Permainan
dimulai, kakak pendamping sudah dipersilakan memilih anggota timnya. Semua
adik-adik berkerumun, mereka antusias menunggu kakak mana yang akan memilih
mereka menjdi anggota timnya. Ada kakak yang memilih adik-adik berumur 4-6
tahun karena kelucuannya, ada juga yang memilih adik yang lebih besar supaya
mudah menghafal kalimat kuncinya. Suasana disana menjadi riuh bergembira.
“Ayo,
Yas!” Seru Tian bersemangat, ia sudah menempati posisinya di pintu
tanya terakhir. Yasmin bergerak cepat, memilih empat orang adik panti yang akan
memenangkan timnya.
Permainan sudah berjalah 20 menit.
Masing-masing tim telah menjawab pertanyaan di pintu tanya 3, beberapa sudah
menaklukan pintu tanya 4. Tim yang dipimpin Yasmin salah satunya. Ketika Yas
sedang tegang-tegangnya melihat dari jauh anggota tim keempatnya membuka pintu
tanya dengan kalimat kunci yang lupa-lupa-ingat, seseoraang mendatanginya.
“Kakak Yasmin,” Berdiri bocah lelaki lucu dengan senyum mengembang
di wajahnya. Dua gigi seri bagian depannya ompong, dipamerkan begitu saja tanpa
malu-malu. Dia juga menggendong tas ransel warna biru langit yang terang.
“Kakak, aku mau kasih tau kalimat kuncinya...” Bocah
itu berbisik. Yasmin melongo. Bocah dengan setelan kemeja rapi itu bukanlah salah
satu anggota kelompoknya, karena anggota keempatnya masih berdiri di sana, di
depan pintu tanya keempat dengan ekspresi mengingat-ingat. Yas menebak, bocah
lelaki dengan mata bening ini telah tersasar dari kelompok lain.
“Apa
itu?” Yas ikut merendahkan suaranya. Eh, ini curang gak ya? Namun keinginan Yas untuk mendapat bocoran
Kalimat Kunci ini semakin menjadi setelah melirik anggota keempatnya memasang
ekspresi putus asa kepada penjaga pintu tanya di sana. Yas membungkuk mantap, menyodorkan
telinganya pada bocah lelaki bermata bening itu sambil menyeringai senang. hehe
“Kakak hapalkan, ya!” Kata bocah itu bersemangat. Yas mengangguk
cepat.
“Di malam ketika rembulan menjadi lentera paling terang, Langit timur memiliki cahayanya. Dari sana, genggam dunia dengan ribuan jendela berbaris rapi, sebuah telaga akan mampu merubahnya. Merubah dunia. Disana lah pertanyaan besarmu akan menggenap bersama jawaban.”
“Wow!” Yasmin takjub dengan
kalimat kuncinya. Semua orang tahu bahwa ia menyukai frase-frase dengan kata
bermuatan benda-benda langit.
“ulangi
dua kali lagi,, aku akan menghapalnya. Okay?” Seru Yas. Kemudian bocah
itu mengulanginya dua kali. Yas langsung hapal di luar kepala. Tak disangka
kalimat kuncinya semudah ini.
Yas mengacak rambut bocah itu,
dan menanyakan namanya.
“Namaku Willy, kak Yasmin.” Masih dengan cengiran gigi ompongnya.
Bocah itu kemudian mengeluarkan potongan kertas dengan tulisan beberapa kata.
Potongan kertas itu langsung diletakkan ke tangan Yasmin,
“Jangan
lupa ya, Kak.” Sedetik kemudian bocah itu berbalik dan berlari
ke dalam kerumunan. Yasmin belum sempat mengatakan terimakasih, bahkan dia
masih keheranan dengan potongan kertas di tangannya, tapi bocah dengan ransel
biru itu cepat sekali menjauh. Ransel biru?
Bukankah itu ransel biru yang bagus dan mahal, paling tidak untuk ukuran seorang
anak Panti?
Dari kejauhan Yas meneliti, ada
tulisan dengan bordiran biru di bagian kantung belakang tasnya: William Anantha
Rachel. Ketika Yasmin masih
berkutat dengan rasa herannya, ransel itu menghilang di balik kerumunan
anak-anak yang lain.
***
“Secepat itu?”
“Apa?”
“Secepat
itu kamu menghapal kalimat kunci dari anggota terakhirmu? Bahkan dia baru
kembali dari pintu tanya empatnya dengan ‘babak belur’.” Tian
tertawa
Yasmin menoleh ke belakang, anak
yang dimaksud Tian berdiri dengan wajah bingung. Tian benar, bahkan anak itu
baru menceritakan betapa sulit dia mengingat kalimat kunci, hingga penjaga pintu
tanya empat akhirnya berbelas kasihan dan mengajarinya. Kemudian Yasmin dengan
penuh percaya diri menggenggam pundaknya dan berkata,
Tenang dik, sekarang kamu nggak perlu capek-capek kasih tau kalimat
kuncinya. Karena kakak sudah hapal.” Kemudian Yasmin melesat ke pintu tanya
terakhir dengan tekad sangat bulat.
“Aku
menghapalnya di luar kepala.” Kata Yas meyakinkan. Tian menaikkan alisnya
tanda sangsi. Lalu tanpa aba-aba Yasmin mengucapkan kalimat kunci yang telah ia
dapatkan dari bocah bermata bening tadi, tentu saja dengan ritme cepat saking
hapalnya.
“Di malam ketika rembulan menjadi
lentera paling terang, Langit timur memiliki cahayanya. Dari sana, genggam
dunia dengan ribuan jendela berbaris rapi, sebuah telaga akan mampu merubahnya.
Merubah dunia. Disana lah pertanyaan besarmu akan menggenap bersama jawaban.”
Hening beberapa saat...
“Bukan
itu kalimat kuncinya, Yas.” Kata Tian akhirnya. Dahi Yas berkerut.
“Aku
tau, yang tadi terlalu cepat, kan, kak? Aku ulangi, ya?
“Nggak
perlu. Karena bukan itu kalimat kuncinya.” Wajah Tian berubah prihatin. “Kamu dapat dari mana?” kali ini nada
bicaranya menganalisa. Yas buru-buru menyapu pandangannya ke arah kerumunan
adik-adik panti untuk mencari bocah beransel biru. “Kamu
dikerjai, ya?”
“Nggak
mungkin, Kak. Matanya jujur.”
“Siapa?”
“Bocah
tadi.” Masih sibuk mencari-cari.
“Dapat
bocoran kalimat kunci dari kelompok lain itu curang, Yas.” Yas
berhenti mengedarkan pandangannya. Wajahnya sekarang menyesal.
Akhirnya Yasmin kembali ke
kelompoknya dengan empat batang cokelat yang dibelinya di kios terdekat, juga
sebuah puisi yang dibuatnya saat itu juga. Memang mudah bagi Yas dengan bakat
menulisnya untuk membuat puisi, prosa, dongeng, dalam waktu singkat. Bakat
menulisnya bahkan mengantarnya menjadi wakil ketua jurnalis kampus meski ia
baru menginjak tahun kedua kuliah. Bakat luar biasa yang diturunkan dari
ibunya.
Yasmin mendekati anggota
kelompoknya dengan senyum ngeles, empat batang cokelat di genggaman, dan puisi
berjudul ‘Kalah Berarti Menang’ yang dibuatnya mendadak. Semua itu akan membayar kekecewaan mereka terhadap kecerobohan yang
kulakukan. Itu rencana Yas.
-
--Bersambung –
*Yealah (cerpen) gini
doang bersambung T_T wkwk