Waktu
itu hari senin pagi, pukul enam lebih sedikit mungkin. Berdua Mama aku menunggu
bus di pemberhentian bus di kotaku, menuju asrama, -pulang. Iya pulang, karena
disanalah rumah keduaku. Tempat berhembusnya nafas selama 2 tahun sudah,
berbagi kenyamanan dengan puluhan teman.. ah, benar-benar penuh kenangan.
Baiklah,
aku lanjutkan ceritaku. Saat itu masih pagi memang, dingin dan tidak terlalu
ramai kendaraan. Amat mudah mengenali dari jarak jauh kendaraan apa yang akan
lewat. Apakah bus atau truk, apakah mobil pribadi atau motor pribadi (hehehe).
Cuma hampir 10 menit saja menunggu, bus pun lewat dan berhenti. Kernet turun
lalu mempersilahkan aku naik. Wah, penuh namun tidak sampai sesak. Ada bangku
“kosong dipaksakan” di deretan paling depan. Aku duduk. Disebelahku seorang ibu
memeluk bayinya yang berumur sekitar 2 bulan. Mereka berdua sedang asik
“ngobrol” dari mata ke mata, dari hati ke hati. Romantis sekali ibu dan anak
itu.
Jarak antara aku dengan sopir sangat dekat,
aku tinggal mengulurkan tanganku saja jika diperlukan untuk menoel pak sopir.
Hehehe, Dekat kan??
Perjalanan
masih panjang saat seorang bapak di depanku merokok, jojong saja. Tanpa ampun menyerangku
dan penumpang lain dengan asapnya. Aku diam saja. Memangnya mau apa? Belum kuat
nyaliku menegur si bapak atas asap rokoknya yang merajalela memenuhi ruang
nafasku. Lupa dia akan ancaman penyakit jantung-paru yang sedang melirik sinis
berniat mempir di jantung-parunya suatu saat nanti. aku hanya berlagak saja
terbatuk-batuk, lalu tersenyum pada ibu disebelahku. Maksud hati ingin
menyampaikan pesan, “batuk kan guwe gara2 rokok si bapak..! BT!! tapi tetep,
kalo senyum masih manis kok gw.. ya kan bu??^_^” (haha) tapi ntah apakah ibu
itu bisa menangkap maksud jujurku atau tidak. Dia balas tersenyum lalu
melanjutkan “ngobrol” dengan bayinya. Dan dari mulut si bapak tetap mengepulkan
asap rokoknya.
Aku
bersandar, mengantuk. Ingin rasanya tidur sebentar saja, tapi tidak ah, malu
dengan kakek di dekatku yang segar bugar melotot fokus memperhatikan jalan.
Tatapannya tidak kosong, tapi berpikir. Iya, sepertinya si kakek sedang
berpikir, karena kerut di dahinya terlihat jelas dari sisi samping. Hmmm
semakin tua usia, semakin banyak beban kehidupan. Itu wajar kata papaku.