“Ranting,”
Aku tersadar, dan segera kusudahi lamunan empat tahun laluku. Kubuka mataku. Jenggala
melepaskan pelukannya, kemudian ia menenggelamkan jemariku dengan kedua
tangannya.
“Kemarin
kamu bilang ada sesuatu? Mau menyampaikan apa?” Tanyanya, menungguku memberikan isyarat atau
apapun sebagai jawaban. Lurus-lurus aku menatap mata itu.
“Aku
ingin mengatakan hal yang penting.” Kataku menggunakan bahasa isyarat. Jenggala
sedikit menaikkan alis, tanda bertanya.
“TentangYasmin.” Lanjutku. Hati-hati aku berkata dengan gerakan-gerakan
tangan yang kubuat sedemikian rupa. Aku
tahu, bahkan langit merah itu pun tahu, apa yang ingin kusampaikan akan membuat
Jenggala terkejut. Sudah lama sekali aku mempersiapkan diri untuk ini, untuk
menyampaikan keinginan yang telah beberapa tahun kupendam.
“Suamiku, kurasa sudah saatnya untuk Yas mengenal siapa Eyangnya.” selesai. Aku
diam menunggu reaksinya. Jenggala, wajah teduhnya berubah keheranan.
“Kau yakin, Ranting? Kau ingin
mempertemukan ibu dengan Yasmin?” Gelisah. Tatapan Jenggala tidak fokus.
Belum sempat kujawab pertanyaannya, Jenggala kemudian berkata, suaranya parau. “Tidak, Ranting. Belum saatnya Yasmin…”
“Sampai kapan??” timpalku cepat. Jenggala
diam. Dibuangnya tatapann itu ke lantai.
“Sampai Yasmin siap.” Masih parau.
Aku menggeleng, “Bukan, sampai dirimu
yang siap! ” Kataku. Kuttap matanya lekat. “Sudah empat tahun sejak Yas lahir ke dunia, Jenggala. Aku,
bagaimapun aku ingin melihat anakku bermanja di pangkuan Eyangnya. Ibumu. Bagaimanapun
aku ingiin melihat Yas berceloteh tentang kampung halaman dimana Eyangnya tinggal.
Aku, aku lelah mengarang cerita tentang
dimana ibumu ketika Yas mulai bertanya dengan kepolosannya. ” Airmataku
tidak bisa lebih bersabar untuk tetap menggenang saja. Kuluapkan sudah apa yang
mengganjal di hati selama sekian tahun.
Kutatap Jenggala, memohon. “Suamiku,
berlembut hatilah… Kita perbaiki semuanya. Kita, hanya butuh mencoba. Mencoba
meluluhkan hati ibumu.”
Jenggala terpaku. Kutemukan
kepedihan pada matanya yang mulai basah. Ah,
Jenggala, maafkan aku yang harus membuka lagi kenangan pedih itu… Ya, kepedihan
yang kami berdua simpan bertahun-tahun lamanya, saat Jenggala harus memilih
antara ibunya atau aku. Memilih antara berbakti pada seorang Ibu atau
menunaikan tanggung jawabnya sebagai seorang suami dan calon ayah. Memilih
tinggal di sisi ibu yang melahirkannya atau di sisi wanita dengan darah daging
yang dikandungnya.
Kami
menikah disertai restu kedua orang tua kami. Meski saat kami melangsungkan
pernikahan, Ibu mertuaku sedang sakit dan dirawat di Rumah Sakit. Beliau
menderita penyakit Diabetes, dan telah dirawat selama sebulan di Rumah Sakit.
Saat seluruh keluarga Jenggala mengetahui bahwa Jenggala akan menikahi seorang
gadis bisu, semua bisa menerima dan menghargai keputusan Jenggala. Termasuk
ibunya yang terbaring lemah di Rumah Sakit. Kemudian, ketika keadaan Ibu
semakin parah, Ayah mertuaku lah yang paling khawatir dan mendesak agar
pernikahan kami segera dilangsungkan.
Dan kami pun menikah.
Hari-hari
kulalui dengan bahagia bersama Jenggala, kami tinggal di rumah mertuaku bersama
Sukma, adik Jenggala. Sukma pun telah menikah, namun belum dikaruniakan anak. Sukma
adalah adik ipar yang baik. Dia lah yang menjadi temanku di rumah ketika
suami-suami kami pergi bekerja. Aku dan Jenggala merasa lega ketika mengetahui
semua orang yang tinggal di rumah itu bisa menerima kekuranganku. Memang
semuanya tidak mungkin berjalan mulus, namun komunikasi di antara aku dan
keluarga baruku saat itu selalu dapat berjalan baik. Ya, meski dengan bantuan
kertas dan pena.
Hingga usia pernikahan kami menginjak
satu bulan, ketika ibu mertuaku akhirnya diperbolehkan pulang untuk di rawat di
rumah. Mulai saat itu, saat ibu mertuaku keadaannya semakin membaik, saat
itulah sikapnya mulai berubah terhadapku. Ntahlah, yang kurasakan ibu mertuaku
membuat batasan interaksi dan komunikasi kepadaku. Tidak ada yang tahu apa penyebabnya,
telah beberapa kali aku mendekati ibu dan bertanya apa yang membuatnya bersikap
dingin kepadaku. Tentu, melalui tulisan di kertas. Berkali-kali pula beliau
hanya diam, bahkan tidak melirik kertas yang kuberikan padanya. Aku, cuma aku
yang menyadari perubahan sikap ibu ketika itu, hanya bisa bersabar.
Suatu hari, kolega ayah mertuaku datang
ke rumah untuk menjenguk ibu, Ayah mempersilakan mereka untuk duduk di ruang
tamu, dan meminta tolong padaku untuk membuat teh hangat untuk mereka. Aku
membuatnya. Dan beberapa saat sebelum teh tersebut aku bawa ke ruang tamu, ibu
mertuaku menghampiriku dan dengan sedikit paksaan mengambil teh tersebut dari
tanganku. Ibu bilang tanpa menghargai perasaanku, aku cukup berdiam diri di
kamar saja, tidak perlu menampakkan diri terlebih di depan kolega ayah
mertuaku. Ibu bilang, mulai saat itu jangan lagi membuatkan teh dan
menyajikannya ke ruang tamu. Kejadian itu tidak sengaja disaksikan Sukma, dia
dengan cepat membujukku agar berhusnudzon, dan tidak sakit hati dengan sikap
ibu. Ya, aku hanya butuh kesabaran yang lebih.
Semakin hari, sikap ibu yang dingin
semakin kentara. Dari tidak diperkenankannya aku memperkenalkan diri sebagai
menantu di rumah itu pada para tamu yang menjenguk ibu, hingga tidak
diperbolehkannya aku terlalu sering beraktivitas di luar rumah. Dan tentang
semua itu, aku meminta Sukma untuk menyembunyikannya dari semua orang yang
berada di rumah itu. Termasuk Jenggala dan ayah mertuaku.
Sampailah pada saat dimana aku dan Jenggala
berencana untuk mengabarkan berita kehamilanku di depan seluruh keluarga.
Dokter mengatakan kandunganku sudah berumur dua bulan. Sore itu, di rumah hanya
ada ibu, Sukma, dan suaminya. Sedangkan Ayah sedang bertugas di luar kota.
Semuanya sedang mengobrol di ruang tamu saat aku dan Jenggala menghampiri
meraka untuk mengabarkan berita bahagia itu. Kami berdiri berdampingan, Jenggala
merangkulku dengan tangan kanannya, tersenyum, siap memberi mereka kejutan.
“Kami
ingin memberikan kabar gembira“ Senyum Jenggala melebar. Kami
memperhatikan perubahan ekspresi wajah mereka satu persatu.
“Tidak
lama lagi, rumah ini akan kedatangan seorang bayi.” Semua terkejut. Ibu
terkejut, Sukma terkejut, suaminya juga terkejut. Semua orang beranjak dan
memberi kami ucapan selamat dan do’a kebaikan bagi kandunganku. Kecuali Ibu.
Ibu terlihat begitu tidak nyaman. Memegang kepala, dan air mukanya gelisah.
Lalu buru-buru pamit untuk istirahat di kamar. Melihatnya, perasaanku campur
aduk sekali.
Jenggala yang belum selesai bicara
akhirnya mengajakku untuk mengikuti ibu ke kamar. Begitu bahagianya ia hingga
ingin menyampaikan maksud kami kepada ibu saat itu juga. Seperti kebanyakan
orang tua, kami berniat membuat acara syukuran saat usia kehamilanku nanti mencapai
umur 4 bulan, ketika malaikat meniupkan ruh pada calon anak kami.
Pintu kamar ibu tertutup, lalu Jenggala
mengetuknya tiga kali. Kami masuk, dan melihat ibu sedang berdiri di samping
jendela yang terbuka.
“Ibu,
aku belum selesai bicara tadi..” Ibu
diam saja.
“Ibu,
bagaimana kalau kita membuat acara syukuran untuk…”
“Tidak
akan ada syukuran apapun di rumah ini!” Ibu memalingkan wajahnya ke arah luar
jendela. Sedang aku dan Jenggala terpaku mendengar apa yang dikatakan ibu pada
kami.
“Maksud
ibu? Ini acara syukuran atas kehamilan Ranting, Bu. Kehamilan menantu ibu,
untuk anakku yang dikandungnya. Untuk cucu ibu..”
“Tidak!
Tidak ada acara apapun. Cukup ibu menyembunyikannya selama ini dari pandangan
orang lain tentang Ranting ! Ibu tidak mau semua orang tau kalau akhirnya
menantu yang bisu itu telah mengandung!” Pecah tangisku. Kini gamblang
sudah alasan mengapa selama ini ibu bersikap dingin kepadaku. Langit menjadi
berat. Aku lunglai. Sukma segera
memelukku dan menguatkan diriku yang terisak. Jenggala, Jenggala mendekati
ibunya dengan tatapan tidak percaya.
“Apa?
Selama ini ibu tidak menunnjukan apapun. Ibu merestui pernikahan kami, Bu!”
“Itu
dulu! Sebelum para tetangga mencemooh keluarga kita. Keluarga terpandang yang
mengangkat mantu seorang gadis yang bisu! Yang kemanapun dia pergi tidak pernah
lepas dari kertas dan pena..”
“Ibu!!” Untuk yang pertama kali kudengar
Jenggala bersuara keras pada ibunya. Gontai langkahnya mendekat pada ibu. Hatiku
perih sekali.
“Ibu..
kumohon, jangan katakan itu padaku. Ranting istriku, Bu. Aku mencintainya” Jenggala
memeluk kaki ibunya, menangis ia. Aku merasakan kepedihan itu. Bersimpuh ia.
Bersimpuh di kaki ibunya, menumpahkan harapan. Mencari sedikit kasih yang
mungkin masih terselip di kerasnya raut wajah ibu.
“Ibu
malu mempunyai mantu yang bisu.” Lirih,
tapi begitu menusuk hati. Kalimat ini, merobek hati kami.
“Tidak,
Ibu tidak bermaksud mengatakan itu, kan, Bu? Ibuku, ibu adalah wanita yang
melahirkanku, dan Ranting adalah wanita yang akan mendampingiku selamanya.
Jangan memaksaku untuk memutuskan sesuatu yang berat, Bu.” Ibunya
bergeming. Tatapannya masih terlempar jauh ke luar jendela.
“Bu..
jawab, Bu..” Jenggala menggoyang-goyangkan kaki ibunya. Berharap ibunya
mengaku khilaf, berharap ibu merengkuh tubuhnya dan berkata maaf. Namun Ibunya
bergeming. Pundak Jenggala berguncang, ia makin terisak.
Tidak ada jawaban, ibu hanya
menggelengkan kepalanya dengan tetap menatap lurus ke luar jendela. Cukup sudah. Jenggala melepaskan kaki ibunya,
mencoba berdiri tegap dan menyeka airmatanya.
“Ranting
isteriku, jika ibu tidak meridhainya, biarkanlah kami pergi.”
Semua terperangah. Satupun tidak ada yang
menyangka Jenggala akan mengatakannya. Wajahnya keras, tatapannya pasti.
Ibunya, tetap bergeming. Jenggala berbalik menghampiriku, memelukku yang juga
terisak. Siapa yang tak hancur mengetahui kebisuanku menjadi penghalang
jatuhnya ridha ibu kepadaku?
Jika saja bisa, akan kutukar apapun yang kupunya untuk memperbaiki pita
suaraku. Oh Ibu, sungguh aku mengharapkan ridhamu menyertai kami. Jikapun aku
mengetahui ketidakikhlasanmu menikahkan Jenggala
denganku sejak awal, aku tidak akan maju sejauh ini. Siapa aku yang harus
memisahkan seorang anak dari ibunya. Siapa aku yang membuka pintu kedurhakaan
anak kepada ibunya. Duhai ibu, harus apa aku..
“Bersabarlah, Ranting. Demi Allah,
Bersabarlah.” Bisik Jenggala. Luruh hatiku, luruh air mataku. Tenggelam
tangisku dalam pelukannya. Itulah kejadian terburuk yang kualami di awal
pernikahan kami.
Lalu kami pergi. Cuma Sukma dan suaminya yang
menahan kepergian kami. Aku dan Jenggala, sejak saat itu, tidak pernah bertemu
ibu.
“Ranting,
benarkah kau mau mencobanya?” Lirih Jenggala.
“Ranting,
akankah kau siap dengan segala resikonya? aku mengkhawatirkan Yasmin… Kututup
bibir jenggala dengan jari telunjukku. Lalu kuyakinkan Jenggala bahwa Yasmin
adalah anak perempuan cerdas dan lucu, yang sangat mirip dengan Eyangnya.
Mungkin masih ada kekecewaan dalam diri Ibu, namun selalu ada harapan. Siapa yang tidak luluh hatinya melihat
kelucuan putri kita?
“Kalau
begitu siapkan dirimu, Ranting. Berat yang akan kita jalani.” Lirih Jenggala.
Aku tersenyum, dan sejurus kemudian kutarik kedua tangannya untuk
kukecup. ‘Akhirnya, Jenggala..’ lirih
batinku. Ada yang singgah di
ruang-ruang hati ini , sebuah kelegaan, juga sekelebat kekhawatiran.
“Bundaa…
Yas hauus..”
Bocah empat tahun berambut ikal muncul
dari balik pintu. Rambut yang sebelumnya kuikat menjadi tiga bagian, sekarang
tinggal dua saja. Berantakan betul. Matanya yang belum lebar terbuka
dikeuceknya sebelah. Tangannya menggenggam gelas susu yang lenyap isinya. Dia
Yasmin, puteri kami.
“Heiii
anak ayah, udah bangun, sayang?” Jenggala menghampirinya, mengangkat
tubuh gendutnya dan menggendongnya manja. Yas melingkari leher Ayahnya dengan
tangannya yang kecil. Aku hanya tersenyum mengamati mereka berdua.
“Yas
cantiiik, ayah mau ngajak Yas ketemu Eyang Uti. Mau?”
Yasmin menatap mata ayahnya dengan polos, mungkin berpikir dengan imajinasinya.
Kemudian mengangguk tiga kali. “Ayah,
Eyang dimana?” tanyanya.
“Surabaya.
Minggu depan kita pulang ke Surabaya.” Erat sekali Jenggala memeluk buah
hati kami. Pulang ke Surabaya. Sesuatu yang telah lama kunantikan. Pulang ke Surabaya, bertemu ibu dan ayah
mertua. Membagi bahagia pada mereka. Memberi kesempatan Yas untuk merengkuh
kasih dari kedua eyangnya, juga tante dan pamannya. Bermain dengan
sepupu-sepupunya. Mengenal kota kelahiran ayahnya.
Kuperhatikan Jenggala yang semakin erat
memeluk buah hati kami. Aku bisa merasakannya, kerinduan Jenggala pada Ibu.
Jenggala,
harapan itu selalu ada.…
~ bersambung ~