Adalah sulit bagiku, berhadapan pada ketidakberesan
hidup yang sebenarnya ada karena ulah sendiri,
dan sering kutemui -bahkan menenggelamkanku- sepanjang masaku. Ini
seperti aku mencoba menangkap angin dengan tanganku, kau tau? Seperti inilah
aku mendapati tubuh lelahku berdamai dengan kegulanaan. Menyiptakan riak air di
wajah hati yang tidak akan pernah seorang pun sudi melihatnya. Bernama:
kesia-siaan.
Bukan karena aku gagal memadu mozaik kehidupan hingga
menyusunnya menjadi sebentuk mimpi, dan merancang strategi terhebat untuk
seterusnya ku gunakan sebagai tangga menuju kesana (seperti harapan). Bukan. Tapi justru karena
keterkejutanku menyaksikan semuanya benar-benar tak berarti, menampakkan fakta
terbodoh seorang anak manusia, yang ternyata sungguh ada pada diriku.
Bukan hal yang berlebihan jika sebuah sikap yang
tersimpan di alam bawah sadar, kini sedikit demi sedikit terefleksi, dan
menghasilkan ketidaklaziman, mempertanyakan arti waktu - dan akhirnya aku terlambat.
Berangan menumpahkan segalanya pada langit sore,
malah membuatku gagal menahan bendungan air di pelupuk. Sungguh ini menguasai
asaku yang tersimpan di laci hati sebelah “sana”.
Aku hanya ingin kembali bertukar cerita kejujuran dengan langit yang merona, bukan
hanya sekedar sapaan yang kerap kulakukan tiap menengadah ke arahnya.
Ingin kembali bergurau dengan awan bersih suci. Tapi
bukan gurauan seperti kemarin-kemarin, menertawai ke-absurd-an yang malang melintang
di antara kami.
Aku ingin berkelakar dengan sentuhan lembut angin
sore yang menenangkan, yang membikin perasaanku berhenti berjingkatan,
setidaknya mengurangi emosi negative yang seenaknya bersemayam “disini” (nunjuk
hati).
Tunggu dulu, tidakkah ini berbeda dari biasa? Terangmu
pun tak berpendar barang sebentar, langit…
Membuatku ingin menjambak warna kelabu yang sedari tadi menghijabmu tanpa
celah. Membungkus merahmu dengan kelabu muramnya. Seperti seribu tekad yang
terbungkus sebuah kelalaian.
Tetesan besar-besar kiriman langit membumi bersamaan,
suaranya lebih mirip ejekan atas kecengengan, dan kolaborasinya dengan
kegalauan (hasil penciptaanku). Paling tidak itu yang pernah ada di benak,
hingga –sepertinya- malaikat sengaja lewat untuk membisikkan cerita haru
‘Tentang Hujan, Harapan, dan Rizki’, kemudian menuliskan kata *Jleb tepat di
palung hatiku.
Ah, Tuhan, aku ini apa?
Tatapanku menembus hujan, beralih kepada rumput di
bawah sana. Kemudian berpikir akan menanyai hal yang –aku yakin- sangat lucu baginya.
Rumput, ia hanya bergoyang-goyang diterpa angin yang bertiup rendah, kemudian
ia merunduk ditimpa hujan., Seperti tak berdaya, walau aku tau ia amatlah
tumbuhan yang tegar. Kemarin aku melihat segerombolan anak bermain bola di
atasnya, berlari di atasnya, menginjaknya. Bukankah itu sakit? Tapi hari ini ia
masih berdiri, hingga sampai daun terlepas dari akarnya pun, ia akan tetap
tumbuh keesokan harinya. Keren. Kau sungguh keren.
Tuhan..Aku adalah debu di hamparan padang pasir. Aku adalah kerikil di curamnya bukit bebatuan. Aku adalah percik di antara gelombang samudera. Aku kecil dan aku lemah, Tuhan. Mungkinkah karenanya maka, ke-idealan manusia jauh dari sekedar “ingin mampir” pada diriku?
Tuhan,Kupahami ketika penghambaanku kian lama menjadi kian abstrak. Namun Engkau sudi menerima taubatku, walau pencarianku akan perekat luka-luka pada gadingku, ntah berakhir hingga kapan.
Ampuni Aku.
Sagitarius 3
Januari 2012, hari ke7
17.35 sore
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih untuk komentarnya ^_^