21 April 2015

Sagitarius 3 : Teteh




Tinch, Teteh, Saya, Sehari pasca Capping Day. 2009.

Kelas telah selesai dengan kegaduhannya, digantikan suara khas lembar-lembar kertas ujian yang saling bergesekan, resah untuk dibuka. Mungkin sekitar Oktober 2008. Siang itu di kelas 4N, ujian bahasa inggris mahasiswi kebidanan Malahayati kelas 1A sedang berlangsung.
Hampir semua dari kami merasakan kegugupan yang sama. Alih-alih dosen senior super tegas itu yang mengawasi kami, justru kami yang waspada mengawasi gerak-geriknya. Haha. Efek gugup yang mendalam. Kecuali seseorang yang duduk di barisan nomer dua paling depan –sebelah kiri saya - yang nampak kalem sekali. Tanpa gerakan yang gelisah, dengan tatapan fokus pada lembar jawaban. Gerakan matanya yang cool berpindah dari lembar soal ke lembar jawaban, tangannya fasih menulis jawaban soal per soal. Baru kemudian saya tahu, cewek tembem hitam manis yang penampilannya sederhana  itu bernama Eka Afriyani, mahasiswa yang –ternyata- englishnya terOK sekelas saat itu. Saya menyimpan kekaguman, dan diam-diam menjadikannya ‘rival’ lain di kelas selain Tinch. Saya harus waspada mendekatinya. Muehehe.
Beberapa waktu berlalu, saya menemukan banyak kesamaan di antara kami. Kami sama-sama dekat dengan Tinch. :p Sama-sama simpel, sama-sama betah ngendon di asrama sepanjang weekend, sama-sama tinggal di kamar deretan sebelah kanan, sama-sama polos, dan sama-sama mengincar ranking pertama. Dan, u know what? IPK semester pertama kami angkanya sama. Dengan sama-sama urutan ketiga tertinggi seangkatan, dan tentu saja harus sama-sama saling puk-puk karena ndak bisa melampaui Tinch di urutan pertama, yang IPKnya nyaris sempurna. *salaman*
Setelah semester pertama usai, kami mulai longgar dalam persaingan ‘gede-gedean IPK’. Keakraban kami ndak lagi dipicu oleh tugas-tugas kuliah, tetapi lebih ke sesuatu yang pribadi. Beberapa hal yang menjadi faktor penyebab kenapa Teteh lebih betah di kamar orang lain ketimbang kamarnya sendiri, membuatnya sangat rajin door to door menyambangi kamar-kamar tetangganya, terlebih kamar kami. Untuk sekedar berbagi makanan, banyolan, mie instan, air minum, cabai rawit, cerita, nasi bungkus, rangkuman, tugas kuliah, dan uang saku. Haha. Dan dengan sebab yang absurd, mulailah saya memanggilnya ‘Teteh’ dan Teteh memanggil saya ‘Emak’. Teteh akhirnya dinobatkan sebagai kerabat dekat kamar 23-24. Berbeda dari Mbak Nupe, tanpa harus tinggal dalam satu kamar pun kami menjalani hari-hari di asrama dengan penuh keakraban.
April 2011 :
“Tenang sih mak, kalo sama kalian gw gak ragu, pasti bakalan terus sehati walau ndak serumah.” Teteh menolak halus ajakan saya dan Erlin untuk tinggal di Sagitarius 3 setelah keluar dari asrama.
Teteh anaknya care. Sangat care. Menjadi salah satu yang paling cepat nawarin bantuan ketika saya kesulitan. Saat saya sedang sedih atau sakit, teteh ndak cuma beliin makan dan obat tanpa diminta, kepeduliannya juga terlihat dari kata-katanya dan belaian tangannya. Iyap bener, teteh ini bisa ngingetin saya sama mamah di rumah kalau tengah jadi target kepeduliannya. Itu sik yang bikin teteh berbeda dari yang lain. Teteh tuh punya caranya sendiri dalam berkasih sayang antar sesama. Menurut saya, Teteh ini tipe melankolis-sanguinis. Imajinasinya tinggi, menjadi teman berhayal-random saya yang klop. Sensitif dan punya selera humor yang tinggi. Saat ada masalah yang sama-sama kami hadapi, Teteh bisa menjabarkannya dengan baik. Analisanya oke, dan selalu pakai perasaan. :’).
Teteh juga super ekspresif. Misalnya gini, kalau habis berpisah dalam waktu yang agak lama, pas ketemu siap-siap pipi diciumin, dipeluk2, trus dihujani kalimat “maaaak kangen kangen kangennnn!” rada histeris. Dimanapun, kalo liat bayi/balita gembul, subhanallah, Teteh ndak bisa lagi dikontrol. Kadang saya berpikir, pipi bayi itu akan dimakannya. Haha *kidding*. Dengan sikap ‘tidak sungkan’ nya teteh, saya juga jadi ndak sungkan bermanja-manja-uwel-uwelan dengannya. Fyi: Ndak semua teman dekat - saya berani manja-manja kepadanya lho. Karena saya mah gitu orangnya, kadang kalem dan pemalu. :3
Ada 2 kejadian yang saya ndak pernah lupa. Dua-duanya mengandung unsur eyel-eyelan saya ke teteh yang –kayaknya- paling parah sepanjang sejarah pertemanan kami. Pertama waktu jaman skripsi dan saya menjadi satu-satunya penghuni Sagitarius 3 yang paling lambat progressnya. Teteh mulai nanya-nanya dan nasihati saya. Karena kami ndak tinggal bareng dan jadi jarang bertemu,  maka sekalinya bertemu, Teteh menjadi sosok yang paling bawel mempermasalahkan skripsi saya yang ndak ada kemajuan. Dan tentu saja saya lebih nyebelin karena udah salah, ngeyel lagi! Hhi. Suatu kali bahkan saya pernah –mungkin- membuatnya sakit hati. Karena di akhir adu argumen Teteh bilang kira-kira begini: “Udah sih mak jangan egois gitu. Gw cuma ngingetin kok mak. Lo gak perlu lah ngomong kayak tadi..” Habis itu diam. Saya yang waktu itu agak emosi juga terdiam, mengingat apa yang telah saya katakan mungkin menyakiti hatinya. *Iya gak sih teh? Teteh inget gak? Sorry ya. Haha*
Yang kedua di awal 2013. Yang ini saya yakin Teteh udah lupa deh. Ketika itu saya sedang mengalami patah hati. *eaa Oleh sesuatu. Saya mah gitu anaknya, untuk masalah satu itu  ndak begitu terbuka sama siapapun.  Tapi karena begitu mengguncang *gempa kali mengguncang -.-, saya jadi susah menutupi efeknya. Ini agak lebay memang, jadi beberapa kali saya kepergok olehnya sedang gak fokus dengan sesuatu yang sedang saya kerjakan, saya juga terlihat sering menghela nafas. Kemungkinan besar Teteh ndak pernah melihat saya sekacau itu, lantas teteh meminta saya untuk cerita. Saya ndak mau. Teteh terus meminta, saya berkelit. Teteh agak berkeras, saya lebih keras kepala. Waktu itu saya bilang, kalau untuk masalah satu itu akan saya simpan sendiri. Lalu:
“Mak, manusia itu gak bisa dewasa sendirian. Kalo terpaksa menerima keadaan, mungkin iya!” katanya sambil ngeloyor ninggalin saya sendirian. Teteh paham, keras kepalanya saya menyimpan masalah sendiri hanya pencitraan agar terlihat kuat di luar, tapi Teteh tahu lemahnya saya di ‘dalam’. Huhu
So,
Udah 7 tahun kami temenan. Ndak terhitung berapa kali teteh nolongin saya, berapa suapan nasi yang Teteh antarkan ke mulut saya, berapa pelukan yang saya dapetkan darinya, berapa panjang kalimat bijak yang diberikannya untuk saya. Berapa sering teteh menasihati saya, berapa sering momen kompak kami saat menghayalkan hal yang sama, menertawakan sesuatu, melakukan hal-hal konyol bersama. Dan hari ini, tepat di hari Kartini, si Teteh ulang tahun ke 25! Horaaaaay!
Selamat ya teteh sayang... telah memasuki usia perak. Dan kalau benar seperti yang teteh bilang tadi pagi bahwa gw adalah teman yang baik dan menjadi saksi susah-senang hidup teteh selama ini, maka begitupun sebaliknya. Bahkan asal teteh tau, saking banyaknya yang teteh tau tentang gw, gw selalu gagal jaim di depan teteh. Haha. Untuk doa ultah kali ini, simpel aja. Semoga April taun depan teteh sudah menjadi sosok Kartini buat seorang anak di kandungan. *kyaaaaa aamiin :’>

Teteh dan Saya, Maret 2015.
Udah, gitu aja. :)

21 April 2015, dalam kondisi terbuai kenangan dan harapan.
_Emaknya Teteh