11 Maret 2014

'Capai' dalam Pencapaian


Bismillah...

Tentang mimpi-mimpi saya di masa depan. Ntahlah, yang biasanya menembus batas cakrawala, sekarang seperti kepentok pada dinding-dinding kamar. Menghujam, tanpa pernah menembus. Sial. Saya terus-terusan memaki diri sendiri sambil memejamkan mata. Seketika hanya ada dua hal di dunia ini : gelap dan rasa... kurang berdaya. Duh, mengapa jadi seperti ini?

Seseorang pernah bilang, bahwa mimpi itu harus setinggi-tingginya, kalau perlu setinggi matahari. Karena setelah kita mengejarnya, paling tidak kita akan sampai pada Merkurius. Tidak apa-apa, jaraknya tak jauh berbeda, sama-sama tinggi. Tapi jangan pernah bermimpi hanya sampai ke bulan, karena engkau cuma akan mencapai puncak bukit.
Makanya, rugi kalau hanya bermimpi yang dangkal-dangkal saja. Kau tau, kan? karena bermimpi itu gratis, tua-muda-kaya-miskin-sehat-sakit boleh bermimpi. dan gratis. Maka, bermimpilah yang tinggi, toh mau mimpi tinggi atau dangkal sama saja, sama-sama gratis"

Saya telah memutuskan apa yang menjadi matahari untuk kemudian saya capai di masa depan. Sesuatu yang besar menurut saya. Ah, tak perlulah saya tulis sebesar apa itu, karena tinggi menurut kita belum tentu tinggi menurut orang lain. Saya hanya ingin bermimpi tinggi, memiliki sesuatu yang hendak dicapai. Keinginan, tujuan, cita-cita, Visi hidup. Dan berusaha mencapainya dengan kerja keras. usaha optimal, dan doa. Lagipula Andrea Hirata pernah bilang, "Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu."

"yaa Robb, peluklah mimpi-mimpi hamba."
 Apa daya manusia tanpa kemurahan-Nya? ketika sampai pada keletihan berusaha, tidak tau harus berbuat apa. Greget pada diri sendiri, menyalahkan, menyesal karena salah mengambil keputusan. Dan, kau tau, pada akhirnya merasa tak berdaya. Saat itulah sering kita jumpai lagi nurani seorang hamba yang terseret-seret memohon pertolongan Tuhannya.
Arrahman, Apa daya manusia tanpa kasih sayang-Mu?
 Saya tahu, ketika fisik letih untuk berusaha, dan jatuh tersungkur karena lemahnya. Hal lain yang harus diperbuat adalah memastikan agar jiwa selalulah kuat. Menutrisi ruh, memotivasi hati, kemudian kembali bangkit untuk berlari. Karena kekuatan hati akan lebih menggerakkan daripada kekuatan fisik. Saya tau itu, tapi justru sekarang, mengapa yang letih adalah hati? Apa yang salah? apa yang salah?

Bangkit, wudhu, sholat dan berdoa. Allah akan mengampuni kelancangan hambanya. Kesalahan pasti trletak pada diri saya. Pasti pada saya...

10 Maret 2014

Yasmin #1 (Sebuah Cerpen)


Sudah tujuh kali musim hujan sejak terakhir kau memadu sebuah pinta dengan buraian air mata, padaku. Belum lagi remasan jemarimu yang luka-luka meremukkan sebongkah akalku sampai kelu. Tiadakah lagi permintaan terakhir yang terdengarlebih mudah dari itu, Yas? Rasa-rasanya langit siang yang berbintang lebih masuk akal buatku.
Sebablah luka yang menyelimuti tubuhmu, dan ringisan yang membeset hati sampai perih, maka siapa lagi yang peduli akan masuk akal  tidakkah pintamu ketika itu?

Siapa yang bisa melupakan malam itu? malam yang langitnya lebih pekat dari biasa. Di malam yang siapapun akan menangisi kepergian si sholehah sepertimu, Yas. Bahkan langit pun turut berair, petir seperti menggerung, dan asaku kian memberontak. Enggan diliputi rasa rindu yang baru, setelah letihnya 10 tahun merindu ibu-bapakku. Dan mulai detik itu, kamu menjadi muara rinduku yang ketiga.

Yas, disini masih tersimpan dengan sangat rapi, kenangan-kenangan tentangmu kususun di laci hatiku yang terluar. Supaya mudah sekali kubuka sewaktu-waktu. Seperti saat ini, ketika untuk yang kesekian kalinya aku berhadapan lagi dengan pusaramu. Meski ruang dan waktu pasti bersinggungan, siapa yang peduli? Yang kutahu, do’a – do’a yang kupanjatkan setelah ini mungkin bisa melapangkan singgasanamu.


Hari ini kubawakan kemuning untukmu. Kemuning yang dulu sekali pernah kita tanam,kemuning yang selalu berbunga tanpa memperhatikan musim. Kini kemuning itu menghiasi taman rumah kami, membagi wanginya kepada siapa saja yang singgah.
Kau ingat? Ini kemuning yang dulu sekali pernah kita tanam berdua di suatu sore. Sore yang ramai oleh celoteh kita berdua.  “Kau yakin?”  tanyaku saat itu sangsi melihat sepohon kemuning kerontang dengan akar terurai yang nyaris mati. “Yah!”  Satukali anggukan tanda pastimu menjadi komando kita berdua untuk mulai menanamnya pada sebuah pot besar di halaman kos. Setelah itu, kauingat? Aku menggodamu karena tiba-tiba pipimu merona ketika kau dengan antusiasnya bercerita tentang tiga hal yang paling menarik perhatianmu diseluruh jagad ini. Tentang Hujan, pantai, dan Isa.

Ya, Isa...


_Bersambung_