19 Juli 2012

Langit Merah #1



Warna langit yang hampir merah lagi-lagi membuatku tertegun. Kilaunya menyeretku pada kejadian lima tahun lalu, ketika saat itu pendar yang sama menghiasi atap bumi Surabaya. Persis sama, seperti dejavu saja. Guratan-guratan warna yang lebih muda mengaduk putihnya awan, pink jadinya. Kusapu tuntas langit sore itu dengan tatapan di balik kacamata. Aku harus sedikit-sedikit memutar leher untuk menyelesaikan pengelanaan mataku. Ya, karena frame kacamataku membatasi luasnya penglihatan. Area yang jelas kulihat hanya seluas frame berukuran 3 x 2 senti. Selebihnya? Seperti sebuah gambar yang ditumpahi efek blur. Buram dan abstrak. Jika kau bermata minus, kau akan mengerti.

Kepalaku hampir mematuk sisi jendela ketika jemari Jenggala mampir di pundak kananku. “Kau melangit lagi?”’ Senyumnya tersungging lama, kemudian tinggal begitu saja di wajahnya yang teduh. Matanya sayu, menatapku lekat-lekat menelusup sampai ke hati. Dia berusaha sedekat mungkin menempel padaku. Merengkuh pundakku. Dan membiarkan kepalaku jatuh di dada bidangnya, seperti sengaja menggelar tempat tidur empuk untuk permaisurinya melepas cerita. Menyediakan tempat terhangat dalam rengkuhan cintanya.  Padahal Jenggala tahu betul, hatiku selalu dekat dengan hatinya. 

Langit yang merona.” Jenggala seolah mengerti bahkan sebelum sempat kujabarkan apa yang berputar di kepalaku tentang langit sore ini.  Dia kemudian mengekor tatapanku yang kembali jatuh pada si langit merah, meresapi langsung ke sumber renunganku. Mencari-cari gerangan apa yang membuatku melangit sore ini. Dia selalu ingin tahu semua yang tersembunyi dalam benakku tanpa memintaku menjelaskan padanya. Cukup menatapku saja, tak jarang Jenggala berhasil membaca isi hatiku. Begitu keras usahanya memahamiku luar dalam. Jenggala selalu berusaha menaungiku seperti seorang ibu yang menyayangi puterinya, seperti guru yang membimbing muridnya, seperti sahabat yang berbagi sisi bahagianya, dan lebih dari itu, Jenggala adalah suami yang terlalu sempurna di mataku. 

Lima tahun lalu di Surabaya kami bertemu. Tepat di bawah langit merona Jenggala mengenalkan dirinya padaku. Tidak ada yang berubah sikapnya saat dia membaca tulisan di secarik kertas  yang kuberikan padanya saat itu. Dia jatuh cinta padaku saat pertama melihatku, akunya. Dan aku percaya. Cukup percaya sebab ia telah membuktikan perkataannya dengan segera menikahiku. Sikapnya yang menyempurnakan diriku dimatanya, sungguh kuanggap sebagai ungkapan cinta terdalam. ‘Cukup aku dan Tuhan yang tahu sempurnanya dirimu.’ Adalah ungkapan megadahsyat yang menghanguskan ketidakpercayaan diriku saat itu. Jenggala, dialah laki-laki yang melengkapiku.

Ia terlalu kompleks di matamu, langit itu. Apa yang sedang kau pikirkan tentangnya, Ranting? Aku kesulitan menebak.” Jenggala beralih menatap wajahku. “Hei, tidak keberatan untuk memberiku clue?”’ kata Jenggala kemudian. Dia tidak menyerah, Jenggala hanya butuh keywords. Kusadari, dia bukanlah malaikat yang serba tahu semua yang tersimpan di kepalaku, meski Jenggala tak pernah lelah mencari arti di setiap senyum penyamar diamku.
Kutegakkan kepalaku yang sudah terlanjur nyaman bermanja di dadanya. Kutarik senyum terindah yang bermakna ‘tak masalah’ kepadanya. Kuacungkan empat jari tangan kananku secara bersamaan, membentuk angka Empat. Kemudian kukepalkan tanganku dan kuputar sekali kearah kanan, yang berarti: Tahun. Yang terakhir kutunjuk punggungku: Lalu. Empat Tahun Lalu. Ini semacam permainan tebak kata yang mungkin kau pernah memainkannya bersama teman-temanmu sewaktu bocah dulu. Tapi aku dan Jenggala kerap memainkannya sejak kami menikah.

“Kau sedang mengingat pertemuan kita yang pertama?”  Tebaknya antusias. Aku mendapati lagi senyum menghiasi wajah teduhnya, namun kali ini dia mendekatkan wajahku ke wajahnya. Keningku dikecupnya. Aku tidak perlu mengangguk untuk memberitahunya bahwa jawabannya amat tepat. Dia tahu benar, diam berarti iya. Dan kecupannya adalah hadiah istimewa sore ini. Dalam imajiku, cintanya memancar kemana-mana. Aura di sekitar kami berubah menjadi merah muda, bahkan melebihi ranumnya warna pink awan di sana. Aku mengerti, bahagia itu: ini.
Akan kuceritakan kisah Empat Tahun Lalu itu, ketika bersama kesungguhannya Jenggala mengungkapkan isi hatinya pada pertemuan pertama kami, tepat setelah dengan sadar membaca dua kata di secarik kertas yang kuberikan padanya. Nekat betul dia. Seperti tersihir mantera bernama Cinta Pada Pandangan Pertama saja. Dia tidak banyak berkata, yang dilakukannya adalah duduk bersimpuh di depanku, lagaknya seperti pujangga. Dengan masih menggenggam kertas pemberianku hasil sobekkan buku catatan yang kerap kubawa saat melangit, Jenggala kemudian berkata:

Aku baru saja jatuh cinta padamu. 
Lengkap dengan tatapan teduhnya yang menelusup sampai ke hati. Saat itu, dia bahkan belum tahu namaku.
Dia gila, pikirku. Bagaimana mungkin dia mengatakannya setelah membaca tulisanku di secarik kertas yang kusobek tak sempurna itu. Sedetik kupikir dia mempermainkanku, sebelum Jenggala tersenyum tulus dan mengangguk sekali, tanda pasti. Segera kulirik kertas di genggamannya. Untuk meyakinkan bahwa aku tidak salah menulis kata. Atau dia tidak terbalik membacanya. Dan kudapati dua kata itu tertulis sempurna. Tanpa kesalahan. Dan Jenggala tidak keliru membacanya. Sedetik kemudian degub jantungku mulai kacau. Ntahlah, aku merasakan kekhawatiran, namun ketulusan pada sorot mata Jenggala menentramkan hatiku. Itu harapan. Harapan untuk mencari bahagia bersama-sama. Harapan untuk mengejar masa depan dengan cinta. Yang kini, aku telah mendapati harapan itu menjadi hal yang nyata. 


Pada secarik kertas yang kuberikan padanya:



 ‘Aku Bisu’.





~bersambung~