28 Agustus 2015

Telaga Kata : Benda Langit #1



Di dalam sebuah ruangan dengan dinding bercat biru, berlantai keramik putih mengkilat, karpet lembut digelar memenuhi hampir setengah luas ruangan. Perabotan mewah menempati posisinya dengan teratur. Bagai suasana yang berulang, pandangan ke sekitar terlihat kabur, tidak nyata. Mungkin memang tidak nyata, Titik-titik putih mirip cahaya melayang di udara, sunyi yang mendamaikan. Tak ada aktivitas, tak ada gerakan apapun, kecuali usapan lembut tanggan seorang perempuan paruh baya berwajah sabar, mengusap kepala anak perempuan berusia 9 tahun yang matanya terpejam. Tubuhnya merebah di atas karpet lembut itu, terlelap begitu saja di antara tumpukan kertas dan alat tulis yang berserakan. Tangannya menggenggam kertas dengan coretan empat bait puisi yang baru selesai ditulisnya dengan hati-hati.

Usapan tangan itu terjadi lagi, dua-tiga kali, dan sepasang mata yang terpejam mulai berkedut, membuka perlahan lalu mengerjap. Mencari sumber usapan lembut di kepalanya.
.
.
“Bunda?”
Wajah sabar itu tersenyum.


Kriiiiiiing Kriiiing!

Yasmin terhenyak, menarik nafas panjang untuk memperbaiki detak jantungnya yang menjadi cepat. Suara telepon itu mengagetkan sekaligus membangunkan ia dari tidur siangnya. Tidur siang yang mungkin ke-3000 kalinya sejak tidur siang di ruangan dengan dinding bercat biru, berlantai keramik putih mengkilat, di atas karpet lembut yang digelar memenuhi hampir setengah luas ruangan itu.... Ah, belakangan Yas sering mengalami mimpi ini berkali-kali. Mimpi yang sebenarnya bagian dari kenangan masa kecilnya.

Yasmin mengembalikan kesadarannya dengan melihat sekeliling. Tentu saja itu kamar tidurnya, karena dindingnya bercat putih, bukan biru. Dia mendapati tubuhnya terbaring di atas kasur, bukan karpet. Dan yang membangunkannya bukanlah usapan di kepala, tapi dering telepon yang melengking-lengking. Tentu saja yang tadi adalah kenangan, dan yang ini kenyataan. Yang tadi adalah ia ketika usianya 9 tahun, sedang yang ini adalah ia 10 tahun kemudian. Dan tentu saja, yang tadi adalah ingatannya ketika Bunda masih hidup, dan kini Bunda telah...

Yas masih dengan posisi berbaring, menyapu seprai dengan kakinya kesana-kemari, merayap benda persegi panjang berlayar yang sedari tadi berdering. Dapat. Kemudian menggesernya hingga jangkauan tangan.

Panggilan Masuk : Kak Tian
Matanya membulat, lalu menyipit beberapa saat memastikan nama yang tertera di layar ponselnya adalah benar. Yasmin belum ingin menjawab telepon itu karena benaknya justru berkutat dengan pertanyaan : Kenapa harus Kak Tian yang merusak ritual tidur suci-ku di siang yang mendung ini? Dan.... Kak Tian? Siapa itu Kak Tian?

Klik!

“Halo?”

“Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikumsalam”

“Yasmin?”

“Iya?” Yas menggigit bibir, mengutuk detak jantungnya yang kembali ngaco. Kak Tian siapa sih?

 “Yas, jadi ikutan WE siang ini?”

Sedetik... dua detik... Ketepok! Allah! Yasmin melonjak duduk, menepuk keras keningnya. Seolah memberi hukuman pada isi kepalanya yang pelupa.

“Jadi, Kak!” Gelagapan.

“Udah dimana?”

“Ng.... Kakak dimana? Eh, maksudku, udah pada mau berangkat?”

“15 menit lagi.”

“Aku susulin langsung ke Langit Garden aja, dah. Gak apa-apa, kan?”

“Oh, boleh. Telpon aja kalo udah nyampe.”

“Siap.”

“dresscode hitam, ya.”

Dresscode hitam? Pandangan Yas melesat pada tumpukan baju yang belum disetrika. Detak jantungnya kembali cepat, wajahnya tegang, matanya memburu sesuatu tapi dia tidak berharap melihat apapun yang berwarna hitam di sana. Tapi sungguh sayang, menyembul bagian baju berdasar hitam. Yasmin meringis kesal. blus hitamnya belum disetrika!

Pukul 13.15 wib, di dalam sebuah kamar, di sebuah rumah yang terlihat sungguh sepi, Yasmin gelagapan bersiap seorang diri. Dia akan datang terlambat!



***

Sendirian?” Yas menoleh, di sampingnya berdiri seorang lelaki berwajah ramah yang baru kedua kali ini ditemuinya. Iya, sebelumnya mereka pernah bertemu di acara yang sama dua minggu lalu. Pertemuan yang bagi Yasmin tak ada yang spesial kecuali pada bagian mereka saling tukar nomor handphone.

“Sendirian?” Tian mengulangi pertanyaannya. Tak pelak lamunan Yas buyar. Mengangguk gelagapan.

“Baru tadi siang aku pulang dari luar kota, Kak.” Terdengar seperti sedang membela diri, sebuah alasan, padahal Tian tidak bertanya perihal keterlambatannya.

“Nggak masalah. Lagian cuacanya nggak stabil. Kirain karena di tempatmu hujan.”

“iya, sih. Hujan juga.” Jawab Yas cepat. Makanya begitu sampai rumah aku sholat trus tidur, dan lupa kalau ada janji. hehe Lanjut Yas dalam hati. Yas nyengir malu, lebih kepada dirinya sendiri.

Acara telah berlangsung setengah jalan, Yasmin tidak mengikuti sesi edukasi yang dilakukan di awal. WE : Weekend Edukasi adalah kegiatan perpekan sekumpulan anak muda kota setempat yang lebih suka menghabiskan setengah hari minggunya untuk mendampingi anak-anak panti asuhan ketimbang melakukan kegiatan lain. Di sana mereka memberi edukasi tentang banyak hal, mengajak anak-anak itu jalan-jalan, mengaji, belajar, dan bermain bersama. Di akhir acara, puluhan anak yang berasal dari beberapa panti itu selalu mendapat oleh-oleh untuk dibawa pulang, berupa alat tulis, alat mandi, makanan, atau lainnya. Kali ini, acara WE diadakan di sebuah taman wisata: Langit Garden. Disana suasananya sungguh hijau, asri dan terbuka. Cocok menjadi tempat rutin acara semacam ini dilakukan. Setiap pekan, puluhan anak dari beberapa Panti Asuhan di kota setempat diundang bergantian. Biasanya untuk tiga sampai lima anak panti, dibutuhkan seorang kakak pendamping untuk mendampingi mereka selama acara berlangsung. Maka setiap acara, hampir pasti terdapat minimal dua puluh kakak pendamping, dan Yasmin menjadi salah satunya. Yasmin mengenal komunitas ini baru dua minggu yang lalu, Tian yang mengenalkannya secara tidak sengaja. Tian sendiri adalah salah satu Founder di sana.

Selalu ada sesi permainan di setiap acara ini berlangsung. Kali ini permainan dipimpin langsung oleh Tian dan beberapa kakak pendamping. Mereka menamai permainan ini dengan : Kalimat Kunci.

Aturannya mudah, setiap kakak pendamping memilih empat orang adik dari panti yang berbeda untuk membentuk sebuah tim. Setiap tim memiliki lima orang anggota, dan masing-masing harus menghafalkan kalimat kunci yang diberikan pemandu permainan (dalam hal ini adalah Kak Tian dan beberapa kakak pendamping) kepada salah satu anggota setiap tim di awal permainan. Kalimat kunci untuk seluruh tim sama, menggunakan kata-kata mirip, njlimet dan terdengar aneh sebagai tantangan. Setelah dihapalkan anggota pertama,  kalimat kunci dioper ke anggota kedua, ketiga, dan seterusnya secara berurutan. Kalimat ini berfungsi untuk membuka ‘pintu tanya’ yang dijaga oleh kakak pemandu. Ada 5 pintu tanya, masing-masing anggota mempunyai satu pintu untuk dibuka secara berurutan. Kalimat kunci hanya boleh dioper ke anggota selanjutnya setelah satu per satu pintu tanya telah ditaklukan. Pintu tanya terakhir adalah yang tersulit. Setiap kakak pendamping diwajibkan menjadi anggota terakhir yang bermain untuk membuka pintu tanya tersulit tersebut. Tim yang paling cepat menyelesaikan permainan lah yang akan menang.

Permainan dimulai, kakak pendamping sudah dipersilakan memilih anggota timnya. Semua adik-adik berkerumun, mereka antusias menunggu kakak mana yang akan memilih mereka menjdi anggota timnya. Ada kakak yang memilih adik-adik berumur 4-6 tahun karena kelucuannya, ada juga yang memilih adik yang lebih besar supaya mudah menghafal kalimat kuncinya. Suasana disana menjadi riuh bergembira.

“Ayo, Yas!” Seru Tian bersemangat, ia sudah menempati posisinya di pintu tanya terakhir. Yasmin bergerak cepat, memilih empat orang adik panti yang akan memenangkan timnya.

Permainan sudah berjalah 20 menit. Masing-masing tim telah menjawab pertanyaan di pintu tanya 3, beberapa sudah menaklukan pintu tanya 4. Tim yang dipimpin Yasmin salah satunya. Ketika Yas sedang tegang-tegangnya melihat dari jauh anggota tim keempatnya membuka pintu tanya dengan kalimat kunci yang lupa-lupa-ingat, seseoraang mendatanginya.

Kakak Yasmin,” Berdiri bocah lelaki lucu dengan senyum mengembang di wajahnya. Dua gigi seri bagian depannya ompong, dipamerkan begitu saja tanpa malu-malu. Dia juga menggendong tas ransel warna biru langit yang terang.

“Kakak, aku mau kasih tau kalimat kuncinya...” Bocah itu berbisik. Yasmin melongo. Bocah dengan setelan kemeja rapi itu bukanlah salah satu anggota kelompoknya, karena anggota keempatnya masih berdiri di sana, di depan pintu tanya keempat dengan ekspresi mengingat-ingat. Yas menebak, bocah lelaki dengan mata bening ini telah tersasar dari kelompok lain.

“Apa itu?” Yas ikut merendahkan suaranya. Eh, ini curang gak ya? Namun keinginan Yas untuk mendapat bocoran Kalimat Kunci ini semakin menjadi setelah melirik anggota keempatnya memasang ekspresi putus asa kepada penjaga pintu tanya di sana. Yas membungkuk mantap, menyodorkan telinganya pada bocah lelaki bermata bening itu sambil menyeringai senang. hehe

Kakak hapalkan, ya!” Kata bocah itu bersemangat. Yas mengangguk cepat.

 “Di malam ketika rembulan menjadi lentera paling terang, Langit timur memiliki cahayanya. Dari sana, genggam dunia dengan ribuan jendela berbaris rapi, sebuah telaga akan mampu merubahnya. Merubah dunia. Disana lah pertanyaan besarmu akan menggenap bersama jawaban.”


“Wow!” Yasmin takjub dengan kalimat kuncinya. Semua orang tahu bahwa ia menyukai frase-frase dengan kata bermuatan benda-benda langit.

“ulangi dua kali lagi,, aku akan menghapalnya. Okay?” Seru Yas. Kemudian bocah itu mengulanginya dua kali. Yas langsung hapal di luar kepala. Tak disangka kalimat kuncinya semudah ini.

Yas mengacak rambut bocah itu, dan menanyakan namanya.

Namaku Willy, kak Yasmin.” Masih dengan cengiran gigi ompongnya. Bocah itu kemudian mengeluarkan potongan kertas dengan tulisan beberapa kata. Potongan kertas itu langsung diletakkan ke tangan Yasmin,

“Jangan lupa ya, Kak.” Sedetik kemudian bocah itu berbalik dan berlari ke dalam kerumunan. Yasmin belum sempat mengatakan terimakasih, bahkan dia masih keheranan dengan potongan kertas di tangannya, tapi bocah dengan ransel biru itu cepat sekali menjauh. Ransel biru? Bukankah itu ransel biru yang bagus dan mahal, paling tidak untuk ukuran seorang anak Panti?

Dari kejauhan Yas meneliti, ada tulisan dengan bordiran biru di bagian kantung belakang tasnya: William Anantha Rachel. Ketika Yasmin masih berkutat dengan rasa herannya, ransel itu menghilang di balik kerumunan anak-anak yang lain.
 
***

“Secepat itu?”

“Apa?”

“Secepat itu kamu menghapal kalimat kunci dari anggota terakhirmu? Bahkan dia baru kembali dari pintu tanya empatnya dengan ‘babak belur’.” Tian tertawa
Yasmin menoleh ke belakang, anak yang dimaksud Tian berdiri dengan wajah bingung. Tian benar, bahkan anak itu baru menceritakan betapa sulit dia mengingat kalimat kunci, hingga penjaga pintu tanya empat akhirnya berbelas kasihan dan mengajarinya. Kemudian Yasmin dengan penuh percaya diri menggenggam pundaknya dan berkata,  

Tenang dik, sekarang kamu nggak perlu capek-capek kasih tau kalimat kuncinya. Karena kakak sudah hapal.” Kemudian Yasmin melesat ke pintu tanya terakhir dengan tekad sangat bulat.

“Aku menghapalnya di luar kepala.”  Kata Yas meyakinkan. Tian menaikkan alisnya tanda sangsi. Lalu tanpa aba-aba Yasmin mengucapkan kalimat kunci yang telah ia dapatkan dari bocah bermata bening tadi, tentu saja dengan ritme cepat saking hapalnya.

“Di malam ketika rembulan menjadi lentera paling terang, Langit timur memiliki cahayanya. Dari sana, genggam dunia dengan ribuan jendela berbaris rapi, sebuah telaga akan mampu merubahnya. Merubah dunia. Disana lah pertanyaan besarmu akan menggenap bersama jawaban.”

Hening beberapa saat...

“Bukan itu kalimat kuncinya, Yas.” Kata Tian akhirnya. Dahi Yas berkerut.

“Aku tau, yang tadi terlalu cepat, kan, kak? Aku ulangi, ya?

 Nggak perlu. Karena bukan itu kalimat kuncinya.” Wajah Tian berubah prihatin.   “Kamu dapat dari mana?” kali ini nada bicaranya menganalisa. Yas buru-buru menyapu pandangannya ke arah kerumunan adik-adik panti untuk mencari bocah beransel biru. “Kamu dikerjai, ya?”

“Nggak mungkin, Kak. Matanya jujur.”

“Siapa?”

“Bocah tadi.” Masih sibuk mencari-cari.

“Dapat bocoran kalimat kunci dari kelompok lain itu curang, Yas.” Yas berhenti mengedarkan pandangannya. Wajahnya sekarang menyesal.

Akhirnya Yasmin kembali ke kelompoknya dengan empat batang cokelat yang dibelinya di kios terdekat, juga sebuah puisi yang dibuatnya saat itu juga. Memang mudah bagi Yas dengan bakat menulisnya untuk membuat puisi, prosa, dongeng, dalam waktu singkat. Bakat menulisnya bahkan mengantarnya menjadi wakil ketua jurnalis kampus meski ia baru menginjak tahun kedua kuliah. Bakat luar biasa yang diturunkan dari ibunya.

Yasmin mendekati anggota kelompoknya dengan senyum ngeles, empat batang cokelat di genggaman, dan puisi berjudul ‘Kalah Berarti Menang’ yang dibuatnya mendadak. Semua itu akan membayar kekecewaan mereka terhadap kecerobohan yang kulakukan. Itu rencana Yas.

-      




--Bersambung –
*Yealah  (cerpen) gini doang bersambung T_T wkwk