3 Februari 2014

Jadi, Bukan Cinta

You know, Langit? Apa yang paling membuatku speechless minggu ini? Sebenarnya aku emang udah lama ndak speechless sih, kecuali waktu baca buku yang dipinjamkan Zul padaku 2 minggu lalu. Judul bukunya “Tuhan, Maaf Kami Sedang Sibuk”. Horor ya? Jadi di dalam buku itu ada bab yang judulnya “Menjungkirbalikkan Logika Menikah”. Stop! Jangan protes dulu! Aku juga ga tau kenapa ada bab nikah disana. Hehe, Brarti ndak horror dong ya. :D      
Nah, di bab ituh ada beberapa point ;  1. Bahwa dengan menikah, seseorang akan menemukan kemapaman ekonominya, bukan sebaliknya. 2. Dalam menikah yang terpenting hanya 2 hal! : Komitmen dan Tanggung jawab. Kemudian aku bengong sama point yang terakhir ini. Gimana nggak coba? tiba2 aku melihat “sebentuk Cinta” seperti terhempas begitu saja dari deretan unsur-unsur  pembangun rumah tangga. *Tuing tuing tuing* mental dan mendarat dengan posisi yang gak enak banget diliat. hoho
Dalam buku itu si penulis bilang,
Sewajarnya sebuah keluarga tidak harus pecah jika hanya disebabkan oleh lunturnya  rasa cinta antara suami dan istrinya, dan cinta bukan satu-satunya hal yang bisa mempertahankan keutuhan rumah tangga.
Tap.. tapikan…?
Ntar duluuuu, belon selesai.
Dalam riset, pleasure feeling ditunjukan oleh peran suatu hormone yang bernama dopamine. Hormon dopamine ini yang terkait erat dengan ekspresi cinta, makanya sering disebut juga dengan hormone cinta. #tsah. Pada sebuah riset yang juga dilakukan Univ. Pisa Italia, disebutkan bahwa pleasure feeling dan passionate ini akan memudar dan hampir-hampir menghilang setidak-tidaknya dua tahun setelah hubungan intens antarpasangan terjadi. Karena sejalan dengan meningkatnya hubungan, oksitosin dan vasopressin akan mempengaruhi jalur-jalur dopamine dan adrenalin, yang membuat dua senyawa ini berkurang kadarnya.
Maksudnya gini, cinta jangan dijadikan pertimbangan utama dalam pembangun ke-so sweet-an berumah tangga. Karena itu gak akan bertahan lama. Menjadi gak banget jika rumah tangga yang sangaaaat diidam-idamkan akan terjaga keharmonisan untuk selama-lama lama lamanya, ternyata pada tahun kedua keutuhannya mulai goyah hanya gegara kadar cintah yang semakin habis.  Aiiiih T.T
Suatu hari seorang lelaki mendatangi Umar untuk menceraikan isterinya karena ia sudah tak mencintainya lagi, tetapi justru Umar menjawab dengan kalimat tanya yang bijak, “Tak bisakah rumah tangga itu ditegakkan dengan tanggung jawab saja?” Kata sahabat Umar SAKING geregetnya dengar lelaki tersebut menjadikan luruhnya cinta sebagai alasan untuk berpisah dg istrinya.
Aku jadi ingat dengan kalimat terakhirnya si Neng kepada si Akang di film Test Pack yang so sweet itu, yang di akhir film si Neng nyaris terbang ke Eropa (kalo ga salah) dan minta bercerai pada si Akang. Tapi ga jadi, dan ini kalimat penutupnya yang #tsah itu :
“Dengan keegoisan, Neng nanya ke Akang apa alasan kita untuk tidak berpisah, padahal Neng ndak bisa menjawab pertanyaan Mengapa kita harus bercerai? Bukankah kita sudah berkomitmen, apapun yang terjadi  kita akan menghabiskan sisa usia bersama-sama, Kang? Neng ingat kalimat yang Neng ucapkan saat pernikahan kita : Apa adanya Akang, sudah melengkapi Neng. :)  “
#RembesAirmata
Jika rumah tangga hanya dipertahankan selama ada cinta (yang bermakna romantisme dan keintiman belaka),  maka mendingan nyelem aja ke bumi bersama harapan bahwa rumah tangga yang dijalani akan berkah. Rasa tanggungjawab dan komitmen ituah yang harus menjadi acuan utama dalam meniti bahtera rumah tangga. Tentu, dibawah tuntunan syar’i.  Jadi jangan mengelu-elukan cinta kali ya sob, cinta itu bukan alasan kenapa kita menikah. Cinta itu pelengkap. Menikah itu ibadah, dan cinta itu pemanisnya. Kalo tanpa cinta kita menikah? Ng… mungkin lama-lama dengan komit saling melengkapi, saling menyokong, mensupport, menemani, membahagiakan, asal membuka hati, cinta akan sendirinya tumbuh, ya? Apalagi kalo kita perempuan. Ahahaha  #eh. Wallahu’alam, lagian yang mampu kasih atau menghapus cinta dari hati manusia kan cuma Allah. Jadi udah, woles aja kalo mau taarufan. #eaaa
###
Oneday aku pernah ngobrol sama papah, ini tentang jodoh. Setelah beliau menjabarkan  blablablabla, sampailah pada kalimat ini, : “Jadi ketika lelaki tersebut udah memenuhi kriteria yang disebutkan Rosulullah , dan datang melamar, kamu gak boleh menolak. Kecuali dengan alasan syar’I”
Kalo’ gak cinta, Pah???”
“Itu bukan alasan.”


Wallahu’alam  bish showab

03/02/2014, hampir maghrib.

Pisah



Setelah bertemu, sebaiknya siapkan diri untuk berpisah” Sebenarnya udah basi dengar kalimat sejenis ini. Dimana “bertemu” selalu aja mepet sama “berpisah”. Tapi sebasi-basinya kalimat ituh, tetap aja aku bakalan galau kalo akan pisah sama sesuatu -yang sadar atau gak- udah membuatku nyaman. Mungkin dak aku aja, kamu juga. Berpisah itu bikin kita bête dan gak lagi semangat ketawa, ya kan? Dan coba perhatikan, semua perpisahan selalu berawal dari “keterpaksaan”, “mau bagaimana lagi”, atau “apa boleh buat”. Yang jelas, salah satu hal pertama yang harus dilakukan adalah ikhlas. Betapa perasaan ikhlas sangat bermakna ketika aku harus membiarkan sesuatu yang istimewa menjauhiku. “yaudasi…” begitu kata hatiku.


Pertemuan itu bagian dari takdir, dan perpisahan adalah kepastian. Ketika kita bertemu dengan apapun itu, merasa nyaman dengannya atau tidak, merasa memilikinya atau tidak, kita harus memahaminya sebagai suatu takdir yang selalu ada akhir. Dan Allah Maha Tahu kapan waktu yang tepat untuk mengakhirinya. Memisahkan kita darinya. Kemudian hal lain yang harus diingat adalah: apapun yang Allah ciptakan termasuk takdir pertemuan, kemudian perpisahan, keduanya hal yang mustahil sia-sia. Tinggal bagaimana usaha kita untuk menjadi sensitif terhadap hikmah yang selalu ngintil di belakangnya. :’>


Semoga bisa lebih belajar untuk peka akan pesan yang tersembunyi di tiap paparan kejadian yang kualami, termasuk tentang perpisahan yang belakangan menjadi kebiasaan ini.  Semoga. ^.^


_Doa
31/01/14