17 Februari 2012

Di Perjalanan PULANG itu....

Waktu itu hari senin pagi, pukul enam lebih sedikit mungkin. Berdua Mama aku menunggu bus di pemberhentian bus di kotaku, menuju asrama, -pulang. Iya pulang, karena disanalah rumah keduaku. Tempat berhembusnya nafas selama 2 tahun sudah, berbagi kenyamanan dengan puluhan teman.. ah, benar-benar penuh kenangan. 
Baiklah, aku lanjutkan ceritaku. Saat itu masih pagi memang, dingin dan tidak terlalu ramai kendaraan. Amat mudah mengenali dari jarak jauh kendaraan apa yang akan lewat. Apakah bus atau truk, apakah mobil pribadi atau motor pribadi (hehehe). Cuma hampir 10 menit saja menunggu, bus pun lewat dan berhenti. Kernet turun lalu mempersilahkan aku naik. Wah, penuh namun tidak sampai sesak. Ada bangku “kosong dipaksakan” di deretan paling depan. Aku duduk. Disebelahku seorang ibu memeluk bayinya yang berumur sekitar 2 bulan. Mereka berdua sedang asik “ngobrol” dari mata ke mata, dari hati ke hati. Romantis sekali ibu dan anak itu.
 Jarak antara aku dengan sopir sangat dekat, aku tinggal mengulurkan tanganku saja jika diperlukan untuk menoel pak sopir. Hehehe, Dekat kan??
Perjalanan masih panjang saat seorang bapak di depanku merokok, jojong saja. Tanpa ampun menyerangku dan penumpang lain dengan asapnya. Aku diam saja. Memangnya mau apa? Belum kuat nyaliku menegur si bapak atas asap rokoknya yang merajalela memenuhi ruang nafasku. Lupa dia akan ancaman penyakit jantung-paru yang sedang melirik sinis berniat mempir di jantung-parunya suatu saat nanti. aku hanya berlagak saja terbatuk-batuk, lalu tersenyum pada ibu disebelahku. Maksud hati ingin menyampaikan pesan, “batuk kan guwe gara2 rokok si bapak..! BT!! tapi tetep, kalo senyum masih manis kok gw.. ya kan bu??^_^” (haha) tapi ntah apakah ibu itu bisa menangkap maksud jujurku atau tidak. Dia balas tersenyum lalu melanjutkan “ngobrol” dengan bayinya. Dan dari mulut si bapak tetap mengepulkan asap rokoknya.
Aku bersandar, mengantuk. Ingin rasanya tidur sebentar saja, tapi tidak ah, malu dengan kakek di dekatku yang segar bugar melotot fokus memperhatikan jalan. Tatapannya tidak kosong, tapi berpikir. Iya, sepertinya si kakek sedang berpikir, karena kerut di dahinya terlihat jelas dari sisi samping. Hmmm semakin tua usia, semakin banyak beban kehidupan. Itu wajar kata papaku.

Bus masih melaju dengan kecepatan sedang. Lambat malah. Kulirik monitor di depan pak sopir yang memperlihatkan laju cepat kendaraan, hanya 40 km/jam. Kecepatan yang pas untuk melaju sambil memberi kesempatan kernet mencari calon penumpang lain di pinggir jalan. Sopir berkonsentrasi mengendarai bus sedangkan kernet berkonsentrasi mencari “sasaran”. Saat dari kajauhan terlihat seorang atau beberapa orang berdiri di pinggir jalan selayaknya sedang menunggu sesuatu, membawa tas atau tidak, berpenampilan seperti ingin pergi atau tidak, kernet selalu menyebutkan kearah mana tujuan bus. “RAJA BASA – RAJA BASA” teriak si kernet. Jika si calon penumpang mengangguk atau melambaikan tangan tanda menyetop, maka kernet mengomando sopir untuk berhenti, memastikan penumpang naik, dan kembali mengomando sopir untuk melajukan bus kembali, - mencari penumpang lagi. Selalu begitu, bahkan ada beberapa waktu saat sopir hampir menginjak gas padahal penumpang belum benar-benar masuk ke dalam bus, dengan cepat kernet teriak “TAHAN!! TAHAN!”, dan sopir mengendorkan lagi pijakkan gasnya. Waw, hubungan keduanya sangat unik menurutku, hubungan profesi antara sopir dan kernetnya. Sangat kompak dan rapi. Saling menguntungkan, saling ketergantungan. Sopir konsentrasi mengatur laju kecepatan bus sedangkan kernet memperhatikan jalan mencari penumpang. Banyak yang beranggapan bahwa sopir adalah bosnya kernet. Mungkin iya, tapi aku beranggapan berbeda. Mereka adalah partner. Kerjasama dan saling menguntungkan.
 Slama 2 jam lebih perjalanan sopir berkonsentrasi pada jalan, mengendarai bus sebaik dan seaman mungkin karena berat tanggungjawabnya akan puluhan penumpang yang dibawanya. Tapi itu tidaklah cukup karena sopir membutuhkan kernet yang pada dasarnya adalah “sang pemberi komando” selama perjalanan. Kernet teriak “STOP”, sopir menginjak rem. Kernet teriak “TAHAN”, sopir tidak menginjak gas dan bertahan sampai kernet teriak “JALAN”, maka sopirpun menginjak gas. Seperti itu terus. Berulang-ulang. Lalu setelah dipikir-pikir, siapakah diantara keduanya yang menduduki posisi sebagai bos?
Tidak. Tidak ada bos atau jongosnya, karena mungkin saja mereka berdua hanyalah Sopir dan kernet yang akan menyetorkan uang hasil “narik”nya pada yang empunya bus, atau dengan kata lain pada BOS YANG SESUNGGUHNYA. Ah, terserah, yang jelas mereka terlihat begitu kompak..

Dan aku tidak meneruskan lamunan dan perkiraan-perkiraanku karena bus sudah sampai di pemberhrntian terakhir, terminal Raja Basa. “Turun sekarang?” tanyaku dalam hati. “tunggu sampai penumpang lain turun.” Jawab hatiku juga. Kenapa? Karena selain khawatir isi tasku raib digondol copet, juga tidak rela saja tubuhku harus berhempit-hempitan dengan penumpang lain. Kata ustadz tidak boleh^^. Tapi masih ingat kah kau bahwa aku duduk di deretan paling depan?? Hahaha maka aku yang akan duluan turun!!
Lalu? Lalu aku melewati jalan Pramuka, menuju kampusku, menuju asramaku, rumah keduaku… berarti  kembali lagi dengan kuliahku, akan melewati lorong asrama itu lagi, tidur di kamar itu lagi, tertawa bersama mereka lagi………..^^


Situasi Lorong asrama yang sepi tiap pulang dari mudik.

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih untuk komentarnya ^_^