30 Maret 2015

Cerita : Nasi Goreng

Tujuh empat satu. aku barusan nyebutin keterangan waktu, meski ndak persis betul karena kurang menyebutkan satuan. Menurutmu, untuk meyakinkan seseorang, haruskah kita menyertai satuan saat menjelaskan seberapa besar cinta kita untuknya? Aku mencintaimu sedalam Palung Mariana, yang dalamnya nyaris 11.000 meter. Contoh saja, meski sebenarnya bukan kalimat ini yang pingin aku tulis, soalnya aku ndak tau satuan cinta itu apa. Katanya, mata lebih banyak berperan dari pada telinga saat menangkap informasi, bedanya bisa lebih dari 20%. Makanya cinta harusnya diperlihatkan, bukan (cuma) dikatakan.

Habis subuh tadi kepikiran buat genapin tidurku yang kurang, tapi ndak jadi. Aku belum nyetrika, disamping sibuk bantu Hesti cari botol tupperwere barunya yang ketriwel. Ungu dibilang pink, maka sesubuh tadi aku sudah jadi korban salah persepsi. Memang ndak ada hubungannya sama aku yang baru bisa tidur pukul 2 dini hari, bukan karena kemenangan Rossi, apalagi karena seprai kasur yang ndak rapi. Aku ndak bisa tidur karena sebelum berdoa mamah telepon, lantas akunya mendadak melow. Mengingat kondisiku saat ini jauh dari layak untuk diekspektasi. Pesimistis itu laiknya virus yang harus dibasmi dengan ketahanan hati, ya. Alhamdulillah, pertama kalinya aku nulis layak jadi laik. Layak di kalimat sebelum-sebelum ini dengan laik di kalimat sebelum ini tentu beda arti ya, semoga aku ndak salah meletakkan perbedaannya.

Hotnews: pagi ini jerawatku nambah satu.

Di meja, berdiri sebotol air mineral kosongyang plastik kemasannya sudah dilucuti Okta sepanjang menunggu nasi goreng disajikan mas-mas penjualnya, tadi malam. Oh satu hal telah terbantahkan : perut kenyang berefek tidur nyenyak, ternyata ndak selalu benar. Nasi goreng semalam porsinya dan pedasnya pas kayak biasa. Mungkin aku ga harus cerita kalau timun dan tomat dipotong dadu. Dulu sih nggak. Nasi goreng yang gerobaknya biasa mangkal di gang -sebelah kiri jalan- depan Alfamart Pramuka. Padahal aku ndak bermaksud jumawa bilang nasi goreng itu nasi goreng langgananku, apakah masih layak jumawa - seseorang yang kesukaannya makan nasi goreng di pinggir jalan? Ya masih lah nggun, jumawa kan konsleting hati. Yaudah aku istighfar. Ketika sampai di gang -sebelah kiri jalan- depan Alfamart Pramuka, gerobaknya ndak ada. Kapan nggun terakhir makan disini? tanya Okta spekulasi. Oh iya, terakhir pas aku masih kuliah D-IV sih. Hehe. Kok mas-mas itu ndak ngasih tau ya kalo pindah?

Emang dia kenal aku?

Baru jalanin motor, eh jalanin? Emang hubungan, DIJALANIN aja? Ulang, baru menjalankan motor 10 meter ke depan, merubah rencana menu makan, Okta nepuk-nepuk pundakku. Itu bukan sik gerobak nasgornya? Pas aku tengok ke tepi jalan sebelah kiri, aku menimbang, Itu bukan ya? Yang mas-masnya ganteng kan? Tambah Okta. Kutengok lagi. Iya bener. hehe. Ntah apa makna dari hehe-ku itu. Aku minggir, melipir mundur. Kok lu tau nasgor yang gua maksud nasgor yang ni? Tanyaku ke Okta, penasaran. Iya, ini juga langganan gua dulu. Bah! Ndak bilang daritadi.

Mas, kok pindah gak bilang-bilang ? Aku nyinyir nanya-nanya. Udah sejak kapan, mas? Apa?? 2 tahun? Selalu gitu deh, masa memang selalu jujur, aku yang lupaan. Lupa sama putaran waktu, lupa sama nasi goreng ini, yang dulu mangkal di gang sebelah kiri jalan depan Alfamart Pramuka. Yaudah mas, ga jadi bungkus. Makan sini aja. Di bawah langit berbintang, di antara bising jalanan. Adalah caraku menebus rasa bersalah, ternyata sudah 2 tahun aku berpaling dari nasi goreng ini. Halah. 

Barusan aku ketiduran, padahal niatnya mau mandi trus dhuha trus ke perpus, perpus ter-oke selampung kalau indikatornya kelengkapan fasilitas - tapi dikit pengunjung. Aku mau cari literatur, referensi, bacaan bergizi. Ah kambing hitam, sebetulnya mau wifian. Sama mau bikin kartu perpus (lagi). Kemarin aku sempet ngecek buku-bukunya, dan terpukau. Mau pinjem tapi kartuku kadaluarsa, cetakan 7 tahun yang lalu. Masih aku simpen. Aku senang liatin ikan-ikan di sana. Mau ikut? Aku mau siap-siap. Bukan karena aku jomblo loh makanya ngajakin kamu. Aku ndak minta temenin, yah paling ndak supaya daftar pengunjung nambah satu. Kamu. Em ndak mau lanjutin dengan “iya, kamu..” ala java comic yang aku lupa namanya. Dia kan guru, tapi hobi melawak. Mirip pemimpin yang hobi dagelan.

 “Tuhan, anugerahilah aku agar tak mencari hiburan untuk menawarkan hati. Mengerti dahulu agar dapat memahami, dan mencintai dengan segenap hati.” Aamiin. Ini doanya Eugene Roa. Tentara medis Inggris dari Kompi Easy, saat perang melawan Jerman. Benar, Band Of Brothers, 2001. 

Aku siap-siap dulu.

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih untuk komentarnya ^_^